Sabtu, 31 Januari 2015

Cerpen : Kandas

Bolehkah aku menangis ?
Ya, itu rasa yang aku alami saat ini. Saat ku tau, hubungan yang aku harapkan indah di akhirnya harus berakhir saat ini. Tak tau apa yang harus aku lakukan dan mengapa semua ini yang ku jalani harus terjadi ? Aku sungguh terluka, sungguh hancur tiada terkira. Hubungan yang aku jalani selama 4 tahun belakangan ini harus berhenti. Mimpi yang kita ukir bersama harus kita kubur dalam-dalam.
Namaku Mozza, aku mulai mengenalnya saat duduk di bangku SMA, saat itu kami masih sama-sama kelas 10. Aku mengenalnya berkat temanku, ia laki-laki bernama Riza. Saat itu kami sering mengerjakan tugas bersama, hingga akhirnya kami dekat dan berjanji untuk menyayangi satu sama lain.
Hari-hari yang aku jalani bersama Riza begitu bahagia, kami melewati setiap titik perjuangan di SMA. Riza selalu ada di sisiku, selalu ada untukku, selalu menguatkanku, menghiburku saat aku sedih, selalu berbagi suka duka bersama. Setiap hari aku habiskan waktuku bersamanya. Sampai suatu hari aku berfikir, dapatkah aku terus bersama Riza hingga gerbang kehalalan terbuka untuk kami. Namun, Riza terus meyakinkanku bahwa kami bisa melewati semua itu.
Suatu hari saat hari itu bertepatan dengan ulang tahunku, Riza memberiku sebuah kalung yang berisikan fotoku bersamanya. Lalu ia menyematkan kalung itu di leherku dan ia berjanji akan menjagaku, melindungi, menyayangiku hingga kami disatukan oleh sang pencipta di ikatan pernikahan. Aku terharu dengan pemberiannya, hingga menitikan air mata, aku terus menjaganya dan tak pernah ku lepaskan dari leherku.
Waktu terus berlalu, saat kami mulai di sibukkan ujian akhir untuk menentukan kami lulus atau tidaknya dari bangku SMA. Kembali aku belajar bersama dengan Riza, hingga ujian akhir telah kami lewati dan berhasil dengan nilai memuaskan. Tapi, kini aku harus berpisah dengan Riza. Kami berbeda perguruan tinggi. Dan sekali lagi sebuah pertanyaan menghampiri benakku. Apakah aku dan Riza mampu untuk bertahan selama kami berpisah ? Lagi-lagi Riza meyakinkanku akan hal itu. Bahwa kami mampu untuk melewati semua itu.
Selama satu tahun kami mulai beradaptasi dengan lingkungan yang setiap hari tak bersama lagi. Dan kami mampu melewatinya meski berjauhan. Namun saat di tahun kedua, kami mulai merenggang, Riza mulai jarang menghubungiku. Jarang mengabariku jika aku tak bertanya terlebih dahulu. Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk menyudahinya dengan mengirim pesan singkat kepadanya. Namun, pesan itu tak dihiraukannya, dan ia menghilang begitu saja dari kehidupanku bak lukisan pasir tersapu ombak.
Kemana Riza yang dulu ? Riza yang selalu ada untukku, selalu menguatkanku, selalu menghiburku. Kini Riza yang selalu mengisi hatiku perlahan mulai menghilang. Aku mencoba menghubunginya, tapi tetap tak ada respon darinya.
Hatiku remuk redam menjalani ini, nilai setiap mata kuliahku tak tahu bagaimana hasilnya. Aku bagaikan batang pohon yang sudah lapuk yang tak mampu lagi menopang beratnya beban. Namun aku harus bangkit dan ingat kedua orang tua yang selalu menguatkanku. Perlahan mulai ku hapus Riza dari hatiku dan mulai menata hidupku lagi tanpa bayang-bayang Riza disisiku. Janjimu yang dulu selalu jadi penopang hubungan kita harusku hapus dari ingatanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar